Posted on

Agama Besar Jepang Dan Tradisi Keagamaan Unik Di Negeri Sakura – Jepang dikenal sebagai negara dengan keragaman budaya dan agama yang besar. Agama di Jepang dibentuk oleh beberapa faktor, mulai dari sejarah hingga pengaruh budaya dari luar Jepang. Agama asli masyarakat Negeri Matahari Terbit atau Jepang adalah Shinto. Selain itu, agama Buddha ada di Jepang sebagai agama yang bercampur dengan budaya Tiongkok.

 

Agama Besar Jepang Dan Tradisi Keagamaan Unik Di Negeri Sakura

Dua Agama Besar Jepang Dan Tradisi Keagamaan Unik Di Negeri Sakura

meirapenna – Mengenai gambaran agama di mata orang Jepang, ada sebuah kutipan populer yang mengatakan bahwa orang Jepang “terlahir sebagai Shinto, menikah dengan Kristen, dan mati sebagai Buddha”. Orang Jepang terlahir beragama Shinto, menikah dengan umat Kristen, dan meninggal sebagai penganut Buddha. Kutipan ini merangkum keunikan orang Jepang dalam melihat dan mengamalkan agama dalam kehidupan sehari-hari.

Mungkin orang Jepang adalah “Shinto” sejak lahir, namun tren gaya hidup modern mendorong banyak pasangan Jepang untuk mengadakan pernikahan di gereja. Upacara penguburan di Jepang kini mengadopsi metode Budha. Kutipan di atas merujuk pada makna praktis kehidupan beragama orang Jepang yang berbeda dengan orang lain.

Praktik seperti ini jelas terdengar aneh bagi masyarakat Indonesia – atau mereka yang menganut kepercayaan monoteistik – yang menganut suatu agama dan tetap setia sampai mati. Namun justru disitulah letak keunikannya. Masyarakat Jepang memandang “agama” atau “kepercayaan” dengan cara yang sangat berbeda. Artikel ini mengungkap beberapa catatan kehidupan beragama di Jepang, yang dirangkum penulis dari catatan kuliah yang diberikan oleh Prof Ken Miichi di Universitas Waseda selama program Jenesys 2022, serta pengembangan berbagai bacaan tambahan.

Hal pertama yang dibahas ketika berbicara tentang kehidupan beragama di Jepang adalah konteks di mana Jepang merupakan negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Shinto. Shinto ini juga berarti “jalan Tuhan atau tuhan” didalam bahasa Jepang. Pada dasarnya, Shinto berakar pada kepercayaan animisme-politeistik Jepang, yang telah membangun identitas Jepang selama berabad-abad dan berasal dari zaman prasejarah.

Praktik keagamaan di Jepang sendiri terbilang unik. Awalnya, orang Jepang terlahir sebagai penganut agama Shinto, agama asli masyarakat di sana. Kemudian dia menikah dengan seorang Kristen dan meninggal sebagai seorang Budha.

Agama Shinto sebagai agama etnis Jepang dapat diartikan bahwa anak yang dilahirkan menganut agama Shinto. Pengaruh budaya modern mendorong masyarakat Jepang untuk menikah di gereja sesuai praktik agama Kristen.

Sedangkan orang yang meninggal di Jepang akan menganut ajaran agama Buddha. Hal ini tentunya sangat asing dan terdengar cukup aneh bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat yang setia pada agamanya sejak lahir hingga meninggal.

Agama Shinto

Dalam perkembangannya, agama Shinto dipengaruhi oleh agama Buddha yang masuk ke Jepang pada abad ke-6 Masehi. Ritual asimilasi unik antara Shinto dan Budha masih dapat ditemukan. Pengaruh masuknya ajaran Budha sejak abad ke-6 hingga seterusnya “memperkuat” Shintoisme, atau dalam bahasa William C. Smith, “reifikasi” – proses memadatkan dan memantapkan suatu doktrin agama menjadi suatu kesatuan yang baku.

 

Baca juga : Restoran Halal Di London Dan Restoran Muslim

 

Shintoisme, yang awalnya merupakan kepercayaan dan praktik tradisional yang agak bebas dengan karakteristik berbeda di setiap wilayah Jepang, menjadi ajaran yang “resmi” dan “dilembagakan” di masyarakat. Selama ini penulis menghindari istilah “Shintoisme” karena Shintoisme sebenarnya merupakan fenomena budaya yang telah lama menjadi bagian organik dari kepercayaan warga Jepang dan bukan merupakan bentukan ideologi.

Istilah “Shinto” (Shinto yang telah menjadi sebuah -isme atau ideologi) sepertinya tepat jika dikaitkan pada masa Restorasi Meiji (1868-1912). Pada era kekuasaan yang menandai yaitu ambisi Jepang menuju ke peradaban modern. Sejak saat itu, keberadaan Shintoisme semakin menguat dan menjadi alat penting negara untuk mengikat identitas dan menempa loyalitas kepada masyarakat. Pada masa Kekaisaran Meiji, Shinto “ditemukan kembali” dan dirumuskan kembali sebagai bagian dari identitas nasional (Shinto Negara).

Pada masa ini, agama Shinto mulai dimurnikan dari pengaruh Buddha, yang sangat mempengaruhi agama Shinto sejak abad ke-6 Masehi. Dalam artikel berjudul Reformasi dan Peran Agama di Jepang: Reformasi Buddhisme, Rekayasa Shinto, dan Peran Kekristenan (2015), Susy Ong, pakar budaya Jepang yang berbasis di Indonesia, berpendapat bahwa Shinto “dipaksa” pada masa Meiji”. menjadi agama resmi dan asli Jepang.”, menghilangkan unsur-unsur asing dari agama Buddha atau agama lain. Selain itu, Shinto disebut sebagai “prinsip kesatuan” negara. Banyak kuil Shinto didirikan atas nama negara.

Ada banyak kuil Shinto di Jepang, dan ada sekitar 80.000 kuil di seluruh Jepang.

 

Agama Besar Jepang

 

Buddhisme

Agama berikutnya di Jepang adalah Agama Buddha dibawa dari Tiongkok oleh para biksu yang pergi ke Jepang. Sejarah perkembangan agama Buddha di Jepang dapat dibagi menjadi tiga periode:

  • Periode Nara (sampai tahun 784)
  • Periode Heian ( 794 -1185)
  • Periode pasca-Heian (dari tahun 1185 hingga saat ini)

Sejak saat itu, agama Buddha berkembang pesat hingga saat ini, jika ada 75.000 kuil Buddha yang tersebar di seluruh Jepang.

Hukum, adat istiadat, dan tradisi keagamaan di Jepang

1. Tidak ada arahan khusus dalam peraturan Jepang yang mewajibkan penduduk Negeri Sakura untuk menganut suatu keyakinan. Namun, agama tersebut masih ada di Jepang dan dipercaya oleh masyarakat. Agama di Jepang umumnya digunakan sebagai sarana untuk bersenang-senang dan bersosialisasi.

2. Masyarakat di Jepang lebih cenderung melakukan kegiatan keagamaan dengan mengandalkan nilai-nilai budaya yang mereka yakini asing dalam konsep internal agama.

3. Jepang sendiri memiliki konstitusi yang melarang pemerintah mencampuri urusan agama.

4. Jepang memandang agama sebagai masalah individu yang bersifat pribadi.

5. Masyarakat Negeri Sakura tidak suka ikut campur dalam masalah pribadi orang lain. Agama juga dipandang sebagai sesuatu yang sangat pribadi. Kalaupun seseorang menganut agama tertentu, orang Jepang lebih memilih diam dan tidak memamerkannya.

6. Yang diutamakan masyarakat Jepang adalah nilai kesopanan dan perilaku baik dibandingkan agama.

Kebiasaan orang Jepang adalah mengunjungi kuil pada waktu-waktu tertentu, biasanya bergantian antara kuil Shinto dan kuil Budha.

Kuil Shinto pada umumnya dimanfaatkan untuk merayakan sesuatu, contohnya seperti upacara pernikahan ataupun upacara kedewasaan. Kuil Buddha, seperti kuburan, kini fokus pada kehidupan spiritual dan akhirat.