Fakta Menarik Tentang Kehidupan Sosial di Jepang

Fakta Menarik Tentang Kehidupan Sosial di Jepang

Fakta Menarik Tentang Kehidupan Sosial di JepangJepang selalu dikaitkan dengan bunga sakura, kimono, disiplin, dan kerja keras. Namun pada kenyataannya, masih banyak hal yang melekat dan menjadi ciri khas masyarakat Jepang. Kehidupan sosial dan budaya Jepang yang unik menarik perhatian negara lain untuk mempelajarinya. Temukan lebih banyak hal dari Jepang di artikel ini.

Fakta Menarik Tentang Kehidupan Sosial di JepangFakta Menarik Tentang Kehidupan Sosial di Jepang

meirapenna – Satu hal yang patut diacungi jempol dari Jepang adalah masyarakatnya yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai nenek moyang. Meskipun masyarakat Jepang termasuk negara maju dalam hal teknologi, pendidikan, dan aspek lainnya, namun mereka tidak melupakan tradisi nenek moyang mereka. Oleh karena itu, modernisasi tidak akan menghapuskan bea masuk. Sebaliknya: hal ini memberi warna baru pada kehidupan sosial dan budaya Jepang.

– Sekilas kehidupan masyarakat Jepang

Meski negaranya tergolong maju, namun piramida demografi Jepang Letaknya menunjukkan lebih sedikit penduduk usia produktif dibandingkan usia non-produktif. Usia rata-rata penduduk Jepang adalah 46 tahun. Kemajuan teknologi dan modernisasi telah mendorong perempuan muda Jepang memasuki dunia kerja dan memilih untuk tidak memiliki anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa angka kelahiran di Jepang mengalami penurunan dan berbanding terbalik dengan arah grafik kematian. (※)

Dalam kehidupan sosial, orang Jepang cenderung bekerja dalam tim, sehingga tidak mengherankan jika kerja sama tim sangat kuat. Anda tidak ragu untuk tetap setia pada hal-hal yang erat kaitannya dengan kehidupan. Namun sikap ini tidak berlaku bagi orang baru. Sebaliknya, orang Jepang cukup tertutup dalam hal ini. Mereka cenderung menyembunyikan pendapat pribadinya dari orang asing. Karena harmonisasi lebih diutamakan daripada pendapat sendiri.

Dalam kehidupan sosial budaya Jepang, erat kaitannya dengan interaksi antara individu. Hal ini tidak lepas dari budaya persahabatan mereka. Salah satunya adalah kebiasaan berkunjung. Merupakan suatu kehormatan menerima undangan dari orang Jepang. Karena orang Jepang tidak asal mengundang orang lain ke rumahnya. Saat kamu mendapatkan hal spesial ini, jangan lupa untuk melakukan hal berikut:

1. Tiba tepat waktu
Semua orang tahu bahwa orang Jepang sangat menghargai waktu mereka. Oleh karena itu, jangan pernah terlambat ketika menerima undangan berkunjung. Beri tahu tuan rumah waktu kedatangan Anda sehingga mereka bisa bersiap. Jika Anda terlambat lima hingga sepuluh menit, itu masih bisa dimaklumi, tetapi jika lebih dari itu, lebih baik beri tahu Anda. Mereka juga bertoleransi terhadap hal-hal yang tidak bisa dihindari, seperti kemacetan atau kebutuhan mendesak yang tiba-tiba.

Jangan datang terlalu dini. Mereka merasa tidak nyaman jika tamu yang datang terlalu mencolok karena mungkin makanannya belum siap, ruangannya kurang rapi, dan sebagainya. Berangkat tepat waktu, mis. H. jangan terlalu sering datang dan jangan terlambat.

2. Membawa hadiah
Merupakan kebiasaan orang Jepang untuk membawa hadiah kepada tuan rumah ketika mereka berkunjung. Hadiah atau paket ini disebut juga omiyage. Biasanya ada yang membawakan makanan untuk kita makan bersama, namun jika ingin menghadiahkan sesuatu yang disukai tidak masalah.

Jika Anda membawa bahan makanan, hindari membawanya atau memotongnya menjadi empat bagian. Angka empat dianggap sebagai simbol kematian sedangkan angka sembilan erat kaitannya dengan penderitaan. Saat memberikan hadiah gratis, ucapkan “tsumaranai mono desu ga” (“Tidak ada yang istimewa, tapi ini hadiah kecil untukmu.”)

3. Izin Tamu
Jika kita berbicara tentang kehidupan sosial dan budaya Jepang, di atas telah disebutkan bahwa orang Jepang adalah orang yang tertutup terhadap orang baru. Oleh karena itu, jika Anda berencana membawa teman yang tidak diundang, Anda harus memberi tahu tuan rumah terlebih dahulu. Tanyakan apakah mereka tertarik jika orang lain tertarik. Sebenarnya mereka tidak akan mengusir orang yang tidak diundang, namun perilaku tersebut dianggap tidak sopan. Orang Jepang merasa tidak nyaman jika tidak mempunyai cukup makanan atau tidak tersedia cukup tempat duduk.

4. Lepas Alas Kaki
Setiap rumah di Jepang memilikigenkan atau pintu masuk ruang tamu. Ada tangga diini yang mengarah ke lantai paling atas. Sebelum melangkah ke lantai, lepaskan sepatu atau sandal dan rapikan bagian pinggir genkan. Putar telapak kaki Anda ke arah luar. Posisi ini tidak hanya menunjukkan sikap rapi, tapi juga memudahkan dalam berpakaian untuk pulang. Beberapa pendatang baru kerap melakukan kesalahan dengan melepas sepatu saat genkan. Padahal, alas kaki tidak boleh menyentuh genkan.

Baca juga : Sejarah Adanya Agama dan Budaya di Jepang

5. Perilaku saat makan
Seorang tamu diantar ke salon. Ada bantal bernama Zabuton. Tunggu tuan rumah mempersilakan Anda duduk, lalu duduklah di atas zabuton dengan cara menekuk kaki ke belakang. Tuan rumah kemudian menyajikan hidangan tersebut. Makanlah saat diminta dan jangan ragu untuk memuji. Orang Jepang sangat suka makanannya dipuji. Biasanya “oishii” atau “umai” digunakan untuk mengekspresikan kelezatan hidangan.

Kehidupan Sosial di Jepang

– Budaya Komunikasi Jepang

Kehidupan sosial budaya Jepang yang sopan tercermin dari sikapnya terhadap komunikasi. Postur Aimai Hyougen adalah ekspresi samar dari sesuatu. Ini merupakan makna atau kode tersirat yang harus dipahami oleh lawan bicaranya. Terkadang mereka merasa tidak nyaman harus mengatakan “tidak” atau menolak dengan jujur. Aizuchi adalah reaksi yang menunjukkan persetujuan seseorang atau ketika mendengarkan suatu percakapan. Setting lainnya adalah sebagai berikut:

1. Membungkuk sebagai Bentuk Rasa Hormat (Ojigi)
Postur membungkuk atau ojigi merupakan salah satu ciri orang Jepang ketika berhadapan dengan orang lain. Budaya mereka meminimalkan kontak fisik langsung, sehingga jabat tangan atau pelukan dan ciuman di pipi kanan dan kiri tidak diperbolehkan. Sebaliknya, mereka membungkuk karena rasa hormat.

Selain itu, tingkat kecenderungan untuk membungkuk menentukan siapa yang dihormati. Membungkuk 15 derajat hanyalah sekedar salam dan biasanya dilakukan di jalan. Jika seseorang melakukan ini, jangan lupa membalasnya sebagai rasa hormat. Bersandarlah 30 derajat selama pertemuan formal. Jika ingin meminta maaf atau mengucapkan terima kasih, membungkuklah hingga 45 derajat.

2. Salam (Aisatsu)
Orang Jepang tidak hanya membungkuk, mereka juga suka memberi hormat dalam berbagai kondisi. Oleh karena itu, mereka yang belajar bahasa Jepang pasti akrab dengan banyak ungkapan sapaan dalam bahasa Jepang, seperti B. Salam, perpisahan, menanyakan kabar, ungkapan bahagia dan sedih. Selain itu, orang Jepang juga tidak selalu lupa mengucapkan terima kasih dan meminta maaf jika melakukan kesalahan. Segala sesuatunya harus dilakukan dengan jujur ​​dan ikhlas tergantung situasi dan kondisi.

3. Perkenalkan diri Anda
Sikap khas lain dari adat istiadat sosiokultural Jepang adalah memperkenalkan diri. Hal ini terjadi tidak hanya di sekolah, tetapi juga di kalangan bisnis dan persahabatan. Informasi yang Anda berikan biasanya berupa nama lengkap, nama panggilan, pekerjaan, spesialisasi atau unit kerja, dan ungkapan lain yang ingin Anda sampaikan secara singkat. Saat memulai perkenalan, seseorang akan terlebih dahulu mengucapkan “Hajime Mashite”. Jika Anda sedang melakukan presentasi saat rapat, Anda bisa langsung menyatakan maksud atau agenda rapat saat itu juga.

4. Bertukar kartu nama sebagai etika bisnis
Bertukar kartu nama merupakan etika bisnis yang tidak boleh dilupakan. Hal ini sangat penting sebagai bentuk menjaga hubungan bisnis. Memberikan kartu nama dengan kedua tangan dan menerima kartu nama dari orang lain dengan sikap yang sama. Posisikan tulisan pada kartu nama menghadap penerimanya agar mudah dibaca. Meskipun demikian, jika Anda adalah orang termuda di forum tersebut, Anda harus menawarkan kartu nama terlebih dahulu.

– Sikap Uchi-Soto dan Honne-Tatemae

Ada dua hal lagi yang dipahami dari konteks sosial budaya Jepang yaitu postur uchi-soto dan hone-tatemae. Tidak banyak orang yang mengetahui hal ini, padahal keduanya penting untuk interaksi sosial masyarakat Jepang. Berikut penjelasan singkat kedua pengaturan tersebut:

1. Model indoor dan outdoor (uchi-soto)
Konsep uchi-soto merupakan tatanan tradisional masyarakat Jepang yang mengacu pada orang-orang disekitarnya. Titik yang paling dekat dengannya dalam hubungannya dengan orang lain disebut uchi, sedangkan orang di luarnya disebut soto. Biasanya kedekatan ini dikaitkan dengan garis keluarga. Namun istilah insider atau Uchi juga berlaku di sektor korporasi. Jika diterapkan pada dunia kerja, posisi uchi diartikan sebagai subjek internal atau dependen.

Soto itu orang asing, misalnya tamu. Sedangkan dalam lingkungan korporasi, soto merupakan pihak luar, hubungan kerja, atau mitra. Dalam kehidupan sosial budaya Jepang, cukup sulit bagi uchi untuk menjadi bagian dari soto, namun bukan berarti tidak mungkin. Konsep uchi-soto dapat dikenali dari cara seseorang memperlakukan orang lain, pilihan kata yang digunakan, dan tata bahasa, seperti penggunaan teineigo, sonkeigo, dan kenjougo.

2. Antara Keinginan dan Penampilan (Honne-Tatemae)
Honne adalah keinginan dan perasaan seseorang yang sebenarnya, sedangkan kebalikannya adalah tatemae yang muncul di permukaan. Intinya, Honne adalah emosi yang tersembunyi, Tatemae adalah “topengnya”. Ini bukanlah sikap ambigu, melainkan kesopanan orang Jepang yang berlaku pada situasi dan kondisi tertentu, misalnya di tempat kerja. Seseorang harus profesional dan tidak punya perasaan.

Oleh karena itu, orang Jepang mengadakan festival pada beberapa kegiatan untuk mengekspresikan kehormatan mereka. Model Uchi-Soto mempengaruhi Honne-Tatemae. Ketika seseorang memiliki hubungan yang begitu dekat, mudah untuk mengungkapkan perasaan terpendam. Namun tidak demikian halnya dengan Soto (orang asing).

Kehidupan sosial budaya Jepang memang unik dan sangat berbeda dengan budaya Barat. Masyarakat Jepang hidup dengan nilai-nilai tersebut dengan berpegang teguh pada kearifan lokalnya. Modernisasi bukanlah tantangan yang akan menghapuskan kebudayaan. Pasalnya orang tua di Jepang sangat mewariskan tradisi dan nilai filosofi nenek moyang kepada anaknya.

Written by